Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Tuesday 22 September 2009

Pasang Aksara Bali (Bagian 2)

3. Pangangge Tengenan

Cecek, lambangnya Lihat uger- uger dan rincian pemakaiannya.

Bisah atau wisah, lambangnya Lihat uger- uger dan rincian pemakaiannya

Surang, uger- uger dan rincian pemakaiannya lebih longgar, bisa dipakai pada segala suku kata yang mati dengan wianjana r.

Keterangan:
Surang bisa juga dipakai sebagai pengganti aksara suara r, umpama:

mahâ + ŗşi = maharşi = maharsi
mahä + rdhika = mahärdhika = mahardika
Perhatikan ŗ jadi r tidak bertitik.

Ulu candra (tanda bunyi hidung) dipakai pada aksara- aksara suara, seperti OmOm atau Ong Ong

4. Tengenan Majalan

Yang dimaksud tengenan majalan, ialah aksara-aksara yang sudah "Nengen"' atau mati (wianjana). kemudian karena dibubuhi oleh aksara suara di belakangnya lalu hidup kembali menjadi satu suku dengan aksara yang mengikutinya, umpama:

Karang + asem = karangasem
cenik + an = cenikan
ajak + a = ajaka
tegul + ang + a = tegulanga

Keterangan:

Istilah tengenan majalan sebagai contoh tersebut di bawah ini adalah tidak benar, umpama:

nyitsitiying
sambelalah
siyaputih

Dalam kekawin-kekawin banyak kita lihat pemakaian tengenan majalan, gunanya untuk menepati guru lagu. umpama:

Sang Inucap angaran Bhïma
sanginucapangaranbhïma

Coba perhatikan perbedaan letak guru lagunya!

Ardasuara artinya setengah suara atau semi vokal dan mempunyai dua fungsi, yaitu:

Sebagai aksara wianjana, umpama.

yasha daya ratu raka laki labha wayar bhata

Sebagai aksara suara, umpama.

jangkrik = jang - krik
kemplang = kem - plang
bangkiang = bangk - kiang
sampuak = sam - puak

Jadi arda suara ŗ pada wianjana k, l pada p, nania (ia) pada k, dan suku kembung (ua) pada p, adalah menjadi satu suku dengan wianjana tersebut. Sekarang yang menjadi persoalan bagi kita ialah bagaimana pasangnya kalau:

Kata itu mulai dengan: ya ra la wa mendapat pangater (awalan)
Kalau mendapat anusuara.
Kalau kata-kata itu kelihatannya hanya satu suku, terutama kata-kata yang berasal dari bahasa Kawi atau Sanskerta.

Keputusan-keputusan yang diambil pada Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963, untuk kata-kata tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Kata -kata mulai dengan ardasuara: ra la pengater tidak boleh digantungi, misalnya
saratuh tidak boleh ditulis sratuh
saratuh tidak boleh ditulis sratuh
karaton tidak boleh ditulis kraton
karaton tidak boleh ditulis kraton

Kata-kata yang mulai dengan ardasuara ya dan wa maka sering kita jumpai perubahan suara a pada pengater menjadi i atau u karena pengaruh ardasuara ya dan wa yang mengikutinya, misalnya:

kata
+pangater
pengiring
menjadi lalu menjadi
yasha
ka
ang
kayasaang kyasayang
yakti
wi

wiyakti wyakti
wangun
pa

pawangun puangun
washa
ka

kawasa kuasa

Ardasuara ya ra la wa anusuara nya semuanya ke ng. Untuk keperluan ini kita hanya tinggal merangkaikan saja (gantungan) misalnya:

raris - ngraris = ngraris
lalu - nglalu = nglalu
wayang- ngwayang = ngwayang
yakti - ngyaktiang = ngyaktiang

Mengenai kata-kata yang kelihatannya terdiri dari satu kata saja, akibat dari ardasuara:ya ra la wa terutama la dan ya dalam Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 masih terdapat dua pendapat yang sama-sama mempunyai alasan yang kuat yaitu:

Pendapat l:

Hampir 90% dari hadirin (terutama anak- anak muda), menghendaki agar kita mempunyai pegangan yang kuat terhadap kata-kata yang demikian, kita pakai saja pegangan hukum dua suku kata (pada kata dasar) sesuai dengan hukum bahasa Austronesia (Bahasa Indonesia, Bali termasuk rumpun bahasa tersebut), kalau sudah menjadi Bahasa Bali.

Dengan berpegangan kepada hukum dua suku kata (uger-uger kalih wanda), kita akan lepas dari pada kesukaran asal-usul bahasa di samping melihat kenyataan, bahwa pada umumnya kata-kata yang kita pergunakan (kruna lingga) kebanyakan terdiri dari dua suku kata. Bahkan dalam hukum Bahasa Indonesia dan Jawa kunapun berlaku hukum tersebut, yaitu yang satu jadi dua yang tiga jadi dua. Lihat contoh di bawah ini:

Asal kata Menjadi
tar detar
rak derak
lit alit
bang abang
Asal kata Menjadi
mas emas
cos kecos
sahaya saya
bahasa basa
Asal kata Menjadi
abagus bagus
amerta merta
beladbad bladbad
kawasa kuasa
dan lain sebagainya.

Dengan demikian lalu disimpulkan sebagai berikut:

Bahwa semua kata-kata yang bekasnya tertulis menjadi satu suku kata, setelah termasuk dalam kalimat Bali kena hukum dua suku kata, sebagai:siap sian muah suah biu nguah jela dan lain sebagainya dengan tanpa menghiraukan asal- usul kata. Hal ini juga menggampangkan dalam hal pengisian guru lagu (pasang jajar).

Pendapat II:

Pendapat yang lain menyatakan sebagai berikut:

Kata-kata dengan ardasuara yang berasal dari Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna atau Bali Kuna dan kemudian menjadi perbendaharaan Bahasa Bali, tetap ditulis menurut ejaannya sendiri, kendatipun lafalnya di Bali- kan, sebagai kata dwi lwa dan lain sebagainya.

Kesimpulan yang diberikan adalah sebagai berikut:

Jika dalam ucapannya kedengaran sebagai satu suku dengan wianjana di mukanya, kedudukannya berubah sebagai aksara suara, umpama:slur swah ngwah slaung tityang kudiang dan lain sebagainya.

Coba perhatikan kata-kata ini:

ngwah ditulis bergantungan sebab asalnya dari wwah
kweh ditulis bergantungan ada persamaan dengan keh

dwi ditulis bergantungan, agar ada perbedaan dengan kata duwi
lwa ditulis bergantungan, agar ada perbedaan dengan kata lua

dan sebagainya.

Keterangan:

dwi = dua,
dui = duri,
lwa = lebar,
lua = luha, wanita

Jika diucapkan tidak menjadi satu suku kata dengan aksara di mukanya, tetap ditulis sebagai aksara wianjana, umpama:

suah lua duwe kuang siap liak sereh gereh

Coba perhatikan kata-kata di bawah ini:

kuang ada persamaan dengan kirangkurang
luih ada persamaan dengan lebih
muah ada persamaan dengan miwah
duwe ada persamaan dengan drewe
sereh ada persamaan dengan sedah
gereh ada persamaan dengan guruh

dan lain sebagainya.

Keterangan:

Pendapat no. Il (dua) terutama dipertahankan oleh almarhum Bapak Kt. Sukrata dan beliau berjanji akan membuat kamus kecil, khusus untuk kata-kata ini. Oleh karena mengingat kamus itu tidak ada sampai sekarang, maka untuk keseragaman kita pakai pendapat No. l (satu) saja, terutama di sekolah-sekolah rendah.

Dengan memakai pendapat No. l (satu) berarti kita juga telah memperkuat pasang- pasang yang telah ada, masuk ke dalam hukum dua suku kata, sebagai kata- kata

tabia biana kakia tiara prau blakas blungbang brengbeng brongbong

dan lain sebagainya.

sumber: http://www.babadbali.com/aksarabali/books/ppebb/pp-set.htm

2 comments: