Sebagai mana telah kami singgung di muka, bahwa ejaan aksara Bali yang dipakai sekarang adalah disesuaikan dengan hasil keputusan Pasamuhan Agung Bahasa Bali tahun 1957, yang diteliti kembali oleh Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 di Denpasar. Menurut keputusan Pasamuhan Agung Bahasa Bali tersebut, ejaan aksara Bali didasarkan pada ejaan "Purwadresta" dan sebagai pegangan pokok dipakai lontar Ramayana oleh Dr. Kern dan oleh Dr. Gunning (selaku pencetak).
Perlu kami tambahkan di sini bahwa:
Walaupun kita mengatakan pasang aksara kedua lontar tersebut kita pakai pegangan, namun hal-hal yang kurang sesuai dengan hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan dalam pasang aksara Bali kita abaikan saja, umpama tentang: gempelan , dan sebagainya. Demikian pula tentang rangkapan-rangkapan wianjana kita hanya batasi hingga kruna lingga saja. | |
Yang penting ialah mengenai pasang jajar, karena hal ini sesuai dengan penempatan guru lagu dan juga sesuai dengan penulisan aksara Latin, di samping hal-hal yang menyangkut tentang tata bahasa. | |
Mengingat jumlah jenis syarat-syarat penulisan aksara Bali ini cukup banyak, maka hal-hal yang tidak mendapat perubahan atau sedikit mendapat pembicaraan dalam Pasamuhan Agung tersebut kami lampaui atau kami tulis begitu saja tanpa keterangan. | |
Mengingat jumlah huruf yang dipergunakan dalam lontar-lontar cukup banyak, maka untuk mengimbangi supaya menjadi lebih jelas perbedaannya antara huruf yang satu terhadap yang lain: maka kami pergunakan tulisan Jawa Kuna Latin. |
1. Aksara Suara
Keterangan:
Aksara-aksara tersebut di atas, hanya dipakai dalam mengeja kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Sanskerta.
Untuk kata-kata Bali dipakai dengan sandangan suara yang berkenaan dengan suaranya, yaitu: aksara:
2. Aksara Wianjana
Aksara wianjana ini digolong- golongkan atas warga aksaranya, sebagai berikut:
No | Dasar Ucapan | Nama Warga | Wianjana (Konsonan) | |||||
Pancawali Mukha | Semi Vokal | Sibilan/ Usma | Aspirat | |||||
tajam | lembut | nasal | ||||||
1 | Kaņţhya (Gutturals) | ka | ka-kha - | ga-gha - | nga | - | - | ha |
2 | Tälawya (Palatals) | ca | ca-cha - | ja-jha - | ña | ya | ça | - |
3 | Mürdhanya (Cerebrals) | ţa | ţa-ţha - | ḍa-ḍha - | ņa | ra | şa | - |
4 | Dantya (Dentals) | ta | ta-tha - | da-dha - | na | la | sa | - |
5 | Oşţhya (Labials) | pa | pa-pha - | ba-bha - | ma | wa | - | - |
Keterangan:
Selain dari pada aksara-aksara tersebut di atas, ada lagi aksara rangkapan yang lain, yang mempunyai bentuk tersendiri, misalnya | |||||
Aksara-aksara mahaprana: kh, th, dh, ch, dalam penulisan aksara Bali sudah tidak ada. Dan kalaupun ada maka aksara tersebut disamakan saja dengan warga aksara yang bersangkutan, umpama kh = k = sedangkan ch, yang masih hanya gantungannya saja, misalnya dalam kata: Aksara d disamakan menulis dengan dh, kecuali dalam Ramayana Kern. | |||||
Tentang nama-nama aksara dalam tulisan Bali masih tetap berlaku misalnya ga gora, ca laca, ta latik, da madu (d dan dh disamakan menulis), na rambat, ta tawa, pa kapal, ba kembang, sa saga, sa sapa dan yang lain-lain sebut saja sesuai dengan warganya. | |||||
Tentang gantungan dan gempelan masih tetap berlaku sebagai mana biasa, hanya perlu diketahui bahwa aksara ksa adalah satu fonem. | |||||
Tentang tedung atut, tetap sebagai biasa asal ingat, bahwa:
|
3. Pangangge Suara
(sandangan suara)
tedung, tarung | |||
ulu | |||
ulu sari, sucika | |||
suku | |||
suku ilut, suku kered | |||
taling | |||
taling tedung, taling tarung | |||
pepet | |||
pepet tedung | |||
guung macelek | |||
sandangan suara le | |||
sandangan suara lö |
Catatan:
Sandangan suara dan dalam kata sudah hampir lenyap dalam susunan sandangan suara aksara Bali5. Pangangge Tengenan
wisah, bisah | |||
surang | |||
cecek | |||
adeg-adeg |
Keterangan:
Sandangan atau pangangge adalah tanda, yang tidak dapat berdiri sendiri. | |
Ada yang berpendapat, bahwa gantungan l dapat dimasukkan pangangge aksara, karena gantungan l itu di samping masuk kelompok arda suara (semi vokal) juga merupakan suara Iuluh (kluster),umpama |
6. Aksara Anceng
Aksara anceng tetap berlaku sebagaimana biasa, yaitu dipakai pada:
Wariga-wariga, umpama:
| |||||||
Singkatan kata-kata, umpama:
|
Aksara anceng dan angka-angka ditulis di antara dua carik.
7. Angka
= 0 | = 1 | = 2 | = 3 | = 4 | |||||
= 5 | = 6 | = 7 | = 8 | = 9 |
Aksara anceng dan angka-angka ditulis di antara dua carik.
8. Caciren Pepaosan
Tanda-tanda yang dipergunakan tetap sebagaimana biasa, yaitu:
Carik siki, kedudukannya sama dengan koma, baik dalam kalimat maupun dalam kakawin. Di samping itu dipakai juga untuk mengapit aksara anceng. | ||
Carik kalih atau carik pareren, dipakai pada akhir kalimat. Kedudukannya sama dengan titik. | ||
Tanda pasalinan, dipakai | ||
panti, panten, dipakai pada permulaan menulis kalimat atau karangan diambil dari gantungandan gempelan | ||
Tanda ini terjadi dari dan sebagainya yang dasar tujuannya sama dengan "awighnam astu" dan dipergunakan sebagai panten kalau di muka dan pamada kalau di belakang kekawin. Dalam kekawin-kekawin pada umumnya empat carik menjadi satu pada. | ||
carik pasalinan atau carik agung. Pada kekawin-kekawin dipakai untuk pergantian wirama atau sarga. | ||
tanda pamungkah, fungsinya sama dengan titik dua (:) pada Bahasa Indonesia. |
sumber: http://www.babadbali.com/aksarabali/books/ppebb/pp-set.htm
No comments:
Post a Comment