Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Tuesday 22 September 2009

Aksara dan Sastra Bali

”NAPAS” bahasa Bali tinggal satu generasi lagi. Para pengamat bahasa-bahasa etnis mengeluarkan teori bahasa Bali akan mati pada tahun 2041 seiring menghilangnya generasi tua Bali. Meskipun teori itu lebih banyak bertujuan untuk membuat manusia Bali jengah dan tergugah, namun argumentasi itu jelas bukan hal yang mengada-ada. Realitanya, generasi muda Bali kini memang sudah sangatberjarakdengan bahasa ibunya. Mereka tidak lagi jadi penutur aktif dan cenderung lebih memilih menggunakan bahasa di luar bahasa Bali dalam pergaulan kesehariannya. Jika sebuah bahasa mulai ditinggalkan para penuturnya, itu sama artinya bahasa itu tengah bergerak menuju gerbang kematian. Tinggal menghitung hari.

Bayang-bayang kematian bahasa Bali itu juga sangat mencemaskan Putu Setia. Jurnalis yang juga tampil sebagai pembicara pada Kongres Bahasa Bali VI ini melontarkan sejumlah argumentasi yang menguatkan teori para pengamat bahasa-bahasa etnis tersebut. Argumentasi pertama, katanya, bahasa Bali bukan bahasa Weda. Dulu, memang ada anggapan semasih agama Hindu dipeluk penduduk Bali, bahasa Bali pasti tetap hidup. Belakangan, anggapan itu melemah mengingat banyak sekali ritual yang memakai bahasa Bali diganti ke mantram dalam bahasa Sansekerta.

Sekarang, para pinandita apalagi pandita sudah lancar melafalkan mantram yang langsung berbahasa Sansekerta. Begitu pula dengan orang Bali, lebih-lebih yang berpendidikan, jarang sekali berdoa dengan bahasa Bali. Bahasanya sudah diganti dengan bahasa Sansekerta,” ujarnya.

Argumentasi kedua, katanya, tidak ada terjemahan atau tafsir Weda ke dalam bahasa Bali. Dengan begitu, orang Bali yang belajar agama Hindu dan bahkan jadi ahli agama Hindu cukup belajar bahasa Indonesia plus sedikit tahu bahasa Sansekerta. Tak perlu tahu bahasa Bali,” katanya.

Argumentasi ketiga, katanya, bahasa Bali kalah gengsinya sebagai bahasa pergaulan dan diramalkan tidak lagi jadi bahasa pergaulan. Realita ini sebenarnya sudah terjadi. Orang Bali, termasuk tokoh-tokoh panutan, sudah mulai rikuh berbahasa Bali karena dikesankan bahasa Bali itu angker dan harus ada sor-singgih.

Anak-anak Bali sangat jarang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pergaulan. Bahkan, anak TK di desa pun bahasa pengantarnya bahasa Indonesia. Di kota apalagi, sejak kecil mereka sudah diajar bahasa Indonesia. Akibatnya, generasi muda Bali makin asing dengan bahasa Bali. Kalau begini terus, lama-lama bahasa bali akan punah,” katanya menyesalkan.

Aksara dan Sastra Bali

Putu Setia menambahkan, nasib aksara Bali justru lebih memprihatinkan lagi karena mulai menghilang di bangku SD, apalagi SLTP dan SMA. Sebagai perbandingan, saat dirinya masih duduk di Sekolah Rakyat (setingkat SD-red), bahasa Bali dan aksara Bali sudah diajari sejak kelas tiga. Sekarang, generasi muda Bali seperti kehilangan aksara Bali,” keluhnya.

Kendati begitu, katanya, nada-nada optimistis bahwa aksara Bali tidak bermunculan. Alasannya, budaya ritual Hindu di Bali masih banyak menggunakan idiom aksara Bali. Rerajahan tak bisa menggunakan huruf Latin karena nilai sakralnya tentu tidak muncul. Masalahnya sekarang, bukankah jadi pemeluk Hindu tidak harus menggunakan ritual budaya Bali?

Sudah banyak orang Bali modern tidak lagi menggunakan rerajahan karena ritualnya mengacu kepada Weda dan tidak lagi menggunakan simbol-simbol. Pelaksanaan agni hotra, misalnya, tak perlu memakai rerajahan,” katanya.

Lantas, bagaimana dengan nasib sastra Bali? Menurut Putu Setia, dirinya melihat kemajuan yang cukup pesat. Terutama, sastra Bali yang bercorak tradisional. Sastra Bali tradisional itu adalah seni geguritan/gegitaan dengan media sekar alit, sekar alit, maupun sekar agung. Sekaa pesantian tumbuh pesat di pedesaan, ini antara lain dirangsang oleh banyaknya radio yang menggelar gegitaan interaktif.

Barometer lain untuk mengukur kemajuan itu juga terlihat dari banyaknya buku geguritan yang diterbitkan dan mulai muncul pengawi (pengarang-red) Bali yang baru. Kaset gending Bali juga laris manis. Variasi tembang juga kreatif, muncul irama-irama baru dengan patokan pupuh yang sudah umum. Tentu saja, ini perkembangan yang sangat menggembirakan. Hanya, dari sudut aksara Bali tetap membuat kita semua prihatin karena buku geguritan yang bertambah itu semuanya dicetak dengan huruf Latin,” ujarnya.

Lantas, upaya apa yang mesti dilakukan jika ingin bahasa, aksara dan sastra Bali tetap lestari dan terus tumbuh berkembang? Menurut Putu Setia, pemerintah dan lembaga-lembaga swasta yang bergiat di bidang pelestarian bahasa Bali hendaknya memberikan penghargaan kepada para seniman sastra Bali. Penghargaan itu bukan sekadar piagam berupa kertas, tetapi sesuatu yang bisa mengubah kehidupan mereka yakni penghargaan materi. Selanjutnya, para pengawi Bali perlu bersatu dan membentuk perkumpulan. Lewat perkumpulan ini, mereka berjuang mendapatkan royalti yang lebih dari penerbit buku lalu berjuang untuk mengadakan media massa populer yang berbasis sastra daerah. Kalau media massa tidak ada, sulit bagi pengawi bergerak.

Menggairahkan penggunaan bahasa Bali terbukti bisa mudah dilakukan kalau tersedia media berbahasa Bali yang ajeg. Radio Genta Swara Sakti Bali, misalnya, bisa jadi contoh. Begitu pula hal dengan Bali Post yang membuat rubrik Bali Orti setiap Minggu. Ini sebuah media pembelajaran sekaligus pelestarian yang sangat penting,” tegasnya.

Dia menambahkan, dunia pendidikan juga merupakan hal penting yang harus disasar untuk menghidupkan bahasa, aksara dan sastra Bali ke depan. Bahasa dan aksara Bali harus kembali diajarkan sejak jenjang pendidikan SD dan bisa dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal.

Masih ada banyak kesempatan dan waktu untuk menyelamatkan bahasa, aksara dan sastra Bali dari kematian jika seluruh komponen masyarakat Bali, pemerintah dan pihak swasta mau berjuang untuk itu. Jika tidak, kekhawatiran bahasa Bali akan mati pada tahun 2041 mendatang bisa jadi benar-benar jadi kenyataan. Kalau sebuah bahasa sudah ditinggalkan penuturnya, berarti dia akan mati dengan sendirinya,” tegasnya lagi. * w. sumatika

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/10/13/f2.htm

No comments:

Post a Comment